Musi Rawas – Suarainvestigasi.com – (05/11/2020) – Kabupaten Musi Rawas keputusan Bupati terkait PERBUP THN 2019 sebagai Berikut :
BUPATI MUSI RAWAS UTARA
PROVINSI SUMATERA SELATAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA
NOMOR II TAHUN 2019
TENTANG
PENYELENGGARAAN USAHA PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI MUSI RAWAS UTARA.
Menimbang : a.bahwa usaha peternakan dan kesehatan hewan mempunyai peranan penting dalam meningkatkan produksi ternak, melindungi masyarakat dari penularan penyakit hewanmeningkatkan
menular serta kesejahteraan hewan;
b. bahwa usaha peternakan dan kesehatan
hewan merupakan hal penting dalam sangat yang penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, maka perlu mengoptimalkan Penyelenggaraan Usaha
Peternakan, Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Usaha
Peternakan dan Kesehatan Hewan;
Mengingat:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2013 tentang Pembentukan Kabupaten Musi Rawas Utara di Provinsi Sumatera Selatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5429);
3. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesechatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Keschatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 338, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5619);
4.Nomor 23 Tahun 2014
Undang-Undang tentang Republik
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Indonesia Tahun 2014 Nomor 224 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang 23 Tahun atas 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (tembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
5.Peraturan Pemerintah Nomor 95 Tahun 2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner Dan Kesejahteraan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 214 Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5356);
6.Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 20 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6019);
Dengan Persetujuan Bernama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA Dan MEMUTUSKAN PENYELENGGARAAN
Menetapkan:
PERATURAN DAERAHTENTANG USAHA PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan
1. Kabupaten adalah Kabupaten Musi Rawas Utara.
2. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten Musi Rawas Utara.
3. Bupati adalah Bupati Musi Rawas Utara.
4.Hewan adalah semua binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian
dari siklus hidupnya berada di darat, air, dan/atau udara, baik yang
dipelihara maupun yang di habitatnya.
Kesehatan Hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan
5.perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan,
pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit,
medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan
kesehatan hewan serta keamanan pakan.
6. Kesehatan Masyarakat Veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia.
7. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitandengan sumber daya
fisik, benih, bibit, bakalan, ternak ruminansia indukan, pakan, alat dan
mesin peternakan, budi daya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran, pengusahaan, pembiayaan, serta sarana dan prasarana.
8. Peternak adalah orang perseorangan Warga Negara Indonesia atau
korporasi yang melakukan usaha peternakan.
9. Perusahaan Peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baikyang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yangdidirikan dan berkedudukan di dacerahyang mengelolausahapeternakan dengan kriteria dan skala tertentu.
10. Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagaipenghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/atau hasil ikutannyayang terkait dengan pertanian.
11. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disingkat RPH adalah suatubangunan atau komplek bangunan di daerah dengan desain tertentudigunakansebagaiyangtempat pemotongan hewan konsumsimasyarakat luas.
12. Budi Daya adalah kegiatan untuk memproduksi hasil-hasil ternak danhasil ikutannya bagi konsumen.
13. Usaha dibidang Peternakan adalah kegiatan yang menghasilkan produkdan jasa yang menunjang usaha budi daya ternak.
14. Usaha dibidang Kesehatan Hewan adalah kegiatan yang menghasilkanproduk dan jasa yang menunjang upaya dalam mewujudkan kesehatanhewan
15. Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolahmaupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untukkelangsungan hidup, berproduksi dan berkembang biak.
16. Produk Hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masihsegar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi,farmakoseutika, pertanian, dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhankebutuhan dan kemaslahatan manusia.
17. Setiap Orang adalah orang perorangan atau korporasi, baik yangberbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang melakukankan dan kesehatan hewan.kegiatan di bidang petern.
18. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan danpenyakit hewan.
19. Otoritas Veteriner adalah kelembagaan Pemerintah atau PemerintahDaerah yang bertanggungjawab dan memiliki kompetensi dalam penyelenggaraan kesehatan hewan.
20. Doketer hewan adalah orang yang memiliki profesi dibidang kedokteran hewan, sertifikat kopetensi dan kewenangan medik veteriner dalam melaksanakan pelayanan kesehatan hewa
21. Dokter Hewan Berwenang adalah dokter hewan yang ditetapkan oleh Bupati sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan.
22. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menulardari hewan kepada manusia atau sebaliknya.
23. Obat Hewan adalah sediaan yang dapat digunakan untuk mengobati hewan, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh yang meliputi sediaan biologik, farmakoscutika, premiks dan sediaan obat hewan alami.
24. Kesejahteraan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
25. Tenaga Kesehatan Hewan adalah orang yang menjalankan aktivitas di bidang kesehatan hewan berdasarkan kompetensi dan kewenangan medik veteriner yang hierarkis sesuai dengan pendidikan formaldan/atau pelatihan kesehatan hewan bersertifikat.
26. Inseminasi Buatan adalah teknik perkawinan dengan memasukkansemen beku, ke dalam saluran kelamin ternak betina dengan menggunakan suatu alat berupa pipet atau Inseminasi Gun.
27. Laboratorium Kesehatan Hewan adalah laboratorium yang menyelenggarakan pemeriksaan terhadap sampel hewan atau ternak, guna keperluan diagnosa lebih lanjut.
28. Pelayanan Inseminasi Buatan adalah pelayanan inseminasi buatan yang dilakukan oleh inseminator.
29. Pemeriksaan Kebuntingan adalah pemeriksan kebuntingan pada hewanatau ternak yang diduga bunting.
30. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolahdata, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara obyektif danprofesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan.
31. Juru Periksa adalah petugas yang membantu dokter hewan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/pengujian kesehatan hewan dan daging
32. Daging adalah bahan asal hewan berupa semua bagian hewan yang telahdipotong dan layak dikonsumsi termasuk hasil bahan asal hewan.
33. Hewan Peliharaan adalah hewan yang cara hidupnya untuk sebagianditentukan oleh manusia untuk maksud tertentu.
34. Unggas adalah jenis burung yang dimanfaatkan untuk pangan yaituayam, bebek, burung dara, kalkun, angsa, burung puyuh dan belibis.
35. Hewan Penular Rabies yang selanjutnya disingkat HPR adalah hewanpenular rabies terutama anjing, kucing dan kera.
36. Hewan Penular Rabies Berpemilik yang selanjutnya disebut HPR Berpemilik adalah anjing yang dipelihara dengan baik oleh pemiliknya.
37. Hewan Penular Rabies Liar yang selanjutnya disebut HPR Liar adalah anjing yang tidak dipelihara dengan baik oleh pemiliknya.
38. Ternak Betina Produktif yaitu ternak betina yang memiliki sistem reproduksi normal dan berusia dibawah 8 tahun.
39. Pemeriksaan Ante Mortem adalah pemeriksaan kesehatan hewan potongsebelum disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang.
40. Pemeriksaan Post Mortem adalah pemeriksaan kesehatan jerohan, kepala dan karkas setelah disembelih yang dilakukan oleh petugas pemeriksa berwenang
41. Nomor Kontrol Veteriner adalah sertifikat sebagai bukti tertulis yang sahtelah dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan pangan asal hewan pada unit usaha pangan asal hewan.
42. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroanlainnya, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
43. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
44. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi tugas wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk melakukan penyidikan.
45. Penyidik Pegawai Negeri Sipil yang selanjutnya disingknt PPNS adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang dan kewajiban untuk melakukan penyidikan terhadap penyelenggaraan Peraturan Daerah yang memuat ketentuan pidana.
Pasal 2
Peraturan Daerah ini dilaksanakan berasaskan:
a. kemanfaatan dan keberlanjutan;
b. keamanan dan kesehatan;
c. kerakyatan dan keadilan;
d. keterbukaan dan keterpaduan;
e. kemandirian;
f. kemitraan;dan
g.keprofesionalan
Pasal 3
Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini untuk memberikan dasar hukum dalam Penyelenggaraan Usaha Peternakan, Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner sehingga terwujud Kesehatan Hewan yang melindungi kesehatan manusia dan Hewan beserta ekosistemnya sebagai prasyarat terselenggaranya Peternakan yang maju, berdaya saing dan berkelanjutan serta penyediaan pangan yang aman, sehat, utuh dan halal.
Pasal 4
Peraturan Daerah ini bertujuan untuk:
a. mengelola sumber daya Hewan secara bermartabat, bertanggung jawab
dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
b. mencukupi kebutuhan pangan, barang dan jasa asal Hewan secara
mandiri, berdaya saing. berkelanjutan serta penyediaan pangan yang
aman, sehat, utuh dan halal bagi peningkatan kesejahteraan Peternak Hewan harus memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.
(2) Apabila ketersediaan air terbatas pada suatu waktu dan kawasan,
kebutuhan air untuk Hewan perlu diprioritaskan setelah kebutuhan
masyarakat terpenuhi.
BAB I1 SUMBER DAYA
Bagian Kesatu Lahan
Pasal 5
Untuk menjamin kepastian terselenggaranya Peternakan dan KesehatanHewan diperlukan penyediaan lahan yang memenuhi persyaratan teknisPeternakan dan Kesehatan Hewan.
Pasal 6
Penyediaan lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 merupakan bagiandalam tata ruang wilayah Kabupaten sesuni dengan ketentuan PeraturanPerundang-undangan.
Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi perubahan tata ruang wilayah yang mengakibatkanperubahan peruntukan lahan Peternakan dan Kesehatan Hewan, lahanpengganti harus disediakan terlebih dahulu di tempat lain yang sesuaidengan persyaratan Peternakan dan Kesehatan Hewan serta agroekosistem.
(2) Ketentuan mengenai perubahan tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Lahan Peternakan dan Kesehatan Hewan untukkegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan.
Bagian Kedua
Air
Pasal 8
(1) Air yang dipergunakan untuk kepentingan peternakan dan kesehatan hewan harus memenuhi persyaratan baku mutu air sesuai dengan peruntukannya.
(2) Apabila ketersediaan air terbatas pada siatu waktu dan kawasan, kebutuhan air untuk hewan perlu di prioritaskan setelah kebutuhan masyarakat terpenuhi.
BAB III
PETERNAKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 9
(1) Usaha Peternakan diselenggarakan dalam bentuk
a. Peternak: dan
b. Perusahaan Peternakan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
Usaha Peternakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 10
Jenis Usaha peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 terdiri atas:
a. Pakan;
b. Alat dan Mesin Peternakan; dan
c. Budi Peternakan daya.
Bagian Kedua
Pakan
Pasal 11
(1) Setiap orang yang melakukan budi daya Ternak wajib mencukupi
kebutuhan Pakan dan Kesehatan Ternaknya.
(2) Pemerintah Kabupaten membina pelaku Usaha Peternakan dalam
mencukupi dan memenuhi kebutuhan Pakan yang baik untuk
Ternaknya.
Pasal 12
(1) Setiap orang yang memproduksi Pakan dan/atau bahan Pakan untuk
diedarkan secara komersial wajib memiliki izin usaha produksi Pakan
dari instansi berwenang.
(2) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi
standar atau persyarntan teknis minimal dan keamanan Pakan serta
memenuhi ketentuan cara pembuatan Pakan yang baik sesuai dengan
ketentunn Peraturan Perundang-undangan.
(3) Pakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanus berlabel sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(4) Setiap orang yang memproduksi Pakan dan/atau bahan Pakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
a. mengedarkan Pakan yang tidak layak dikonsumsi;
b. menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang mengandung bahan pakan yang berupa darah, daging dan/atau
tulang; dan/atau
C. menggunakan pakan yang dicampur hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan Pakan.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Peternakan
Pasal 13
(1) Alat dan mesin Perternakan digunakan untuk melaksanakan fungsi:
a. perbibitan dan budi daya;
b.penyiapan, pembuatan, penyimpanan dan pemberian Pakan; dan
c. panen, pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil Peternakan.
(2) Alat dan mesin Peternakan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke
dalam Kabupaten harus memberikan kesclamatan dan keamanan
pemakainya.
(3) Setiap Orang yang melakukan usaha dibidang pengadaan dan/atau
peredaran alat dan mesin Peternakan wajib memiliki izin usaha alat dan
mesin Peternakan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan memperoleh
izin usaha alat dan mesin peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Keempat
Budi daya
Pasal 14
(1) Budi daya merupakan usaha untuk menghanilkan hewan peliharaan dan
produk hewan.
(2) Pengembangan budi daya dapat dilnkukan dalam uatu kawanan budi
daya sesuai dengan ketentuan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6.
(3) Pelaksanaan budi daya dengan memanfaatkan satwa liar dilaksanakan
sesuai dengnn ketentuan Peraturan Perundang- undangan.
Pasal 15
(1) Budi daya Ternak hanya dapat dilnkukan oleh Peternak, Perusahaan
Peternakan, dan pihak tertentu untuk kepentingan khusus.
(2) Peternnk yang melakukan budi daya ternak dengan jenis dan jumlah
ternak di bawah sknlausaha tertentu wajib memiliki tanda daftar usaha Peternakan.
(3) Perusahaan Peternakan yang melakukan budi daya ternak dengan jenis
dan jumlah ternak diatas skala usaha tertentu wajib memiliki izin usaha
Peternakan.
(4) Perusahaan Peternakan, pihak Peternak dan tertentu yang mengusahakan ternak wajib mengikuti tata cara budi daya ternak yang baik dengan tidak mengganggu ketertiban umum sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan memperoleh
izin usaha peternakan dan tanda daftar usaha peternakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 16
(1) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha dibidang budi daya ternak
berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat dan
menguntungkan serta berkeadilan.
(2) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan:
a. antar Peternak;
b. peternak dan perusahaan peternakan;
c. peternak dan perusahaan dibidang lain;
d. perusahaan peternakan dan Pernerintah Kabupaten; atau
e. peternak dan Pemerintah Kabupnten.
(3) Pemerintah Kabupaten melakukan pembinaan kemitraan sebaguimana
dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan ketentuan Peraturan
Perundang-undangan dibidang kemitraan usaha.
BAB IV
KESEHATAN HEWAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 17
(1) Pengobatan Hewan menjadi tanggung jawab pemilik hewan, peternak atau perusahaan peternakan, baik sendiri atau dengan bantuan tenaga kesehatan hewan.
(2) Pengobatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menggunakan obat keras dan/atau obat yang diberikan secara parenteral harus dilakukan oleh dokter hewan dan/atau tenaga kesehatan hewan dibawah pengawasan dokter hewan berwenang.
(3) Hewan atau kelompok hewan yang menderita penyakit menular dan tidak dapat disembuhkan berdasarkan visum dokter hewan berwenang serta membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan harus dieutanasia dan/atau dimusnahkan atas permintaan pemilik hewan, peternak, perusahaan peternakan, Pemerintah Kabupaten dengan memperhatikan ketentuan tentang Kesejahteraan hewan.
(4) Pengeutanasiaan dan/atau pemusnahan terhadap hewan atau kelompok hewan sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) dilakukan oleh dokter hewan dan/atau tenaga kesehatan hewan dengan memperhatikan ketentuan tentang kesejahteraan hewan.
(5) Biaya pemusnahan terhadap hewan atau kelompok hewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dibebankan kepada pemilik hewan.
Pasal 18
Jenis usaha kesehatan Hewan terdiri atas:
a. obat hewan;
b. alat dan mesin kesehatan hewan;
c. kesehatan masyarakat veteriner
d. RPH;
e. pelayanan kesehatan hewan dan reproduksi; dan
. poultry shop, petshop, grooming.
Bagian Kedua
Obat Hewan
Pasal 19
(1) Berdasarkan sediaannya, obat hewan dapat digolongkan ke dalam sediaan
biologik, farmakoseutika, premiks dan obat alami.
(2) Berdasarkan tingkat bahaya dalam pemakaian dan akibatnya, obat hewan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan menjadi obat keras,
obat bebas terbatas dan obat bebas.
Pasal 20
(1) Obat Hewan yang dibuat dan disediakan dengan maksud untuk diedarkan harus memiliki nomor pendaftaran.
(2) Untuk memperoleh nomor pendaftaran, setiap obat hewan harus didaftarkan, dinilai, diuji dan diberikan sertifikat mutu setelah lulus penilaian dan pengujian sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang undangan.
Pasal 21
(1) Obat keras yang digunakan untuk pengamanan penyakit hewan dan/atau
pengobatan hewan sakit hanya dapat diperoleh dengan resep dokter hewan.
(2) Pemakaian obat keras harus dilakukan oleh:
a. dokter hewan; atau
b. tenaga kesehatan hewan dibawah pengawasan dokter hewan.
Pasal 22
(1) Setiap orang yang berusaha dibidang peredaran obat hewan wajib memiliki izin usaha peredaran obat hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan memperoleh izin usaha peredaran obat hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketiga
Alat dan Mesin Kesehatan Hewan
Pasal 23
Alat dan Mesin Kesehatan Hewan digunakan untuk melaksanakan fungsi:
a. pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan.
b. kesehatan masyarakat veteriner;
c. kesejahteraan hewan; dan
d. pelayanan kesehatan hewan.
Pasal 24
(1) Setiap orang yang melakukan usaha dibidang pengadaan dan/atau
peredaran alat dan mesin kesehatan hewan wajib memiliki izin usaha alat
dan mesin kesehatan hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan memperoleh
izin usaha alat dan mesin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Keempat
Kesehatan Masyarakat Veteriner
Pasal 25
(1) Kesehatan Masyarakat Veteriner meliputi:
a. penjaminan higiene dan sanitasi;
b. penjaminan produk hewan; dan
c.pengendalian dan penanggulangan zoonosis.
(2) Penjaminan higiene dan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dilaksanakan dengan menerapkan cara yang baik pada rantai
produksi produk hewan di:
a. tempat budidaya;
b. tempat produksi pangan asal Hewan;
c. tempat produksi produk Hewan nonpangan;
d. RPH
e. tempat pengumpulan dan penjualan; dan
f.pengangkutan.
(3) Pemerintah Kabupaten wajib membina pelaku usaha untuk memperoleh
Nomor Kontrol Veteriner dalam bentuk sertifikat Nomor Kontrol Veteriner
oleh Otoritas Veteriner dibidang Kesehatan Masyarakat Veteriner atas
nama Gubernur.
Pasal 26
(1) Penjaminan Produk Hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b, dilakukan melalui:
a. Pengaturan peredaran produk hewan;
b. Pengawasan unit usaha produk hewan;
c. Pengawasan produk hewan;
d. Pemeriksaan dan pengujian produk hewan;
e. Standardisasi produk hewan;
f.Sertifikasi produk hewan; dan
g Registrasi produk hewan.
(2) Setiap orang yang mempunyai unit usaha penanganan produk hewan
wajib mengajukanpermohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(3) Permerintah Kabupaten melakukan pembinaan terhadap unit usaha yang
memproduksi dan/atau mengedarkan produk hewan yang dihasilkan oleh
unit usaha skala rumah tangga yang belum memenuhi persyaratan nomor kontrol Veteriner.
(4) Setiap Orang atau Badan Usaha yang melakukan usaha penanganan produk hewan (penghasil, pemasok, pemotong,penjual, dan pengolah)
wajib memiliki izin usaha dari Pejabat yang berwenang.
(5) Prosedur untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) harus memperhatikan persyaratan teknis yang ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pembinaan
terhadap unit usahn nebngaimana dimaksud pada aynt (3) nrtn uneia penanganan produk hewan sebgaimana dimakaud ada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 27
(1) Pengendalian dan penanggulangan zoonosis nelagnimann dimnknud
dalam Pasal 25 ayat (1) hunuf e, dilakukan melalui
a. penetapan zoonosis prioritas;
b. manajemen risiko
e. kesiagaan darurat
d. pemberantasan zoonosis, dan
e.partisipusi masyarakat,
(2) Dalam hal terjadinya wabah zoonosis prioritan yang mengarah pada kejadian Iuar biasa, Bupati wajib mengumumkannya kepada manyarakat
dan pengendalian mempriorituskan penunggulangannya serta berdasarkan sebaran geografis zoonosis.
(3) Dalam melaksanakan manajemen risiko pnda daerah wabah dan daerah
tertular, Bupati sesuui kewenangannya melakukun penutupan daerah wabah berdasarkan rekomendasi Otoritas Veteriner Kabupaten.
(4) Pemerintah Kabupaten harus mengikutsertakan manyaruknt dalam
pengendalian dan penanggulangan zoonosis.
(5) Setiap orang yang memiliki atau memelihara hewan wajib menjaga,
mengamati kesehatnn hewan dan kebersihan serta kesehatan lingkungannya.
(6) Setiap orang yang mengetahui terjadinya kasus zoonosis pada hewan
dan/atnu manusia wajib melaporkan kepada perungkat Kelurahan/Dena
atau nama lain, Kecamatan, Otoritas Veteriner, dan/atau otoritas kesehatan setempat.
(7) Untuk melakukan pemantauan dan tindakun cepat kejadiun zoonosis,
Pemerintah Kabupaten membentuk kader pemantauan dan tindakan cepat kejadian zoonosis.
Bagian Kelima
RPH
Pasal 28
(1) Pemotongan Hewan meliputi Sapi, Kerbau, Kuda, Kambing. Domba, Unggas yang dagingnyn diedarkan wajib:
a. dilakukan di RPH; dan
b. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2) Pemotongan Hewnn sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dikecualikan bugi pemotongan hewan untuk kepentingan hari besar
keagamaun, upacara adat dan pemotongan darurat.
(3) Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memperhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan RPH, izin
pendirian RPH dan tata cara pemotongan hewan diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 29
(1) Pernerintah Kabupaten wajib memiliki RPH yang memenuhi persyaratan teknis.
(2) RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan oleh swasta
setelah memiliki izin usaha RPH dari Bupati.
(3) Usaha RPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan berwenang dibidang pengawasan kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Pelaku Pemotongan Hewan yang disebut juru sembeih halal wajib memiliki sertifikasi halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MU).
Bagian Keenam
Pelayanan Kesehatan Hewan
Pasal 30
(1) Pelayanan Kesehatan Hewan meliputi:
a. pelayanan jasa laboratorium veteriner;
b. pelayanarn jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner;
c. pelayanan jasa medik veteriner;
d. pelayanan jasa di unit pelayanan kesehatan hewan yang terdiri atas
praktik dokter hewan mandiri, ambulatori, pusat kesehatan hewan atau pos kesehatan hewan, klinik hewan, rumah sakit hewan, rumah potong hewas, termasuk pelayanan jasa konsultasi medik veteriner, inseminnni buatan dan pemeriksaan kebuntingan, dan
e. pelayanan perawatan hewan (penitipan, salon hewan/ grooming.
(2) Setinp Orang yang melakuknn usahn dibidnng pelayanan kesehatan
hewan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki izin usaha
pelayanan kesehatan hewan
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyatan memperoleh
izin usaha pelayanan keehutan hewan sebagainana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Bupati
Pasal 31
(1) Tata cara penyedinan, penjunlan dan pemotanan serta penanganan daging hewan khusus untuk kurban hari raya idhul adha harus memperhatikan kaidah syariat islam, kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyediaun, penjualan dan
permotongan serta penanganan daging hewan untuk kurban sebegimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.
Pasal 32
Pemerintah Kabupaten berwenang
a. menetapkan dokter hewan berwenang
b. meningkatkan peran dan fungsi kelembagaan penyelengyaraarn kesehatan
hewan; dan
c. melaksanakan koordinasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang
undangan.
Pasal 33
(1) Untuk memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan hewan, pemerintah
kabupaten mengatur penyediaan dan penempatan tenaga kesehatan
hewan.
(2) Tenaga Kesehatan Hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. tenaga medik veteriner
b. sarjana kedokteran hewan; dan
c. tenaga paramedik veteriner.
(3) Tenag Medik Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terdiri atas dokter hewan dan dokter hewan spesialis.
(4) Tenaga Paramedik Veteriner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e memiliki diploma kesehatan hewan, ijazah sekolah kejuruan kesehatan
hewan dan/atau sertifikat pelatihan paramedik keschatan hewan.
Pasal 34
(1) Tenaga Kesehatan Hewan yang melakukan pelayanan kesehatan hewan
wajib memiliki surat izin praktik kesehatan hewan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persyaratan memperoleh izin
praktek kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Bupati.
Bagian Ketujuh
Kesejahteraan Hewan
Pasal 35
(1) Pemerintah Kabupaten bersama masyarakat menyelenggarakan kesejahteraan hewan dengan prinsip kebebasan hewan, yang dilakukan
pada kegiatan:
a. penangkapan dan penanganan;
b. penempatan dan pengandangan;
c.pemeliharaan, perawatan dan penitipan;
d. pengangkutan;
e. penggunaan dan pemanfaatan;
.perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan;
8 pemotongan dan pembunuhan; dan
h. praktik kedokteran perbandingan.
(2) Pemilik fasilitas pemeliharaan, perawatan dan penitipan hewan wajib
memiliki izin usaha yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pemerintah Kabupaten melakukan pembinaan perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan kepada pemilik hewan, orang yang menangani hewan sebagai bagian dari pekerjaannya, dan pemilik serta pengelola fasilitas pemeliharaan, perawatan dan penitipan hewan yang dilakukan melalui penyediaan sarana, sosialisasi dan edukasi.
(4) Pemerintah Kabupaten wajib memberikan pembinaan kepada masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan hewan.
Bagian Kedelapan
Otoritas Veteriner
Pasal 36
(1) Pemerintah Kabupaten membentuk otoritas veteriner sesuai ketentuan
peraturan perundang undangan.
(2) Pembentukan Otoritas Veteriner ditetapkan oleh Bupati.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai otoritas veteriner diatur dalam Peraturan
Bupati.
BAB V
PELAYANAN DAN PENGAWASAN
Pasal 37
Pemerintah Kabupaten melakukan pengawasan, pengendalian, pembinaan
dan pelayanan jasa meliputi:
a. Pelayanan Kesehatan Hewan;
b. Pelayanan RPH;
c. Pelayanan Kesehatan Masyarakat Veteriner;dan
d. Pelayanan Reproduksi.
Pasal 38
(1) Pemerintah Kabupaten melalukan pengawasan terhadap hewan/ternak
yang dipelihara maupun yang akan dipotong dan daging yang akan dikonsumsi masyarakat.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemeriksaan
cara berkala terhadap hewan yang memiliki potensi penularan penyakit
hewan, baik hewan yang dipelihara maupun yang djual oleh masyarakat.
BAB VI
KEWAJIBAN DAN LARANGAN
Pasal 39
(1) Setiap orang wajib menempatkan hewan/ternak peliharaan dalam kandang.
(2) Setiap orang yang membawa hewan/ternak yang akan masuk ke dalam
kabupaten, wajib mendapat rekomendasi izin masuk dari bupati setelah diperiksa terlebih dahulu kesehatannya oleh dokter hewan berwenang dari daerah asal.
(3) Setiap Hewan/Ternak yang akan dipotong wajib:
a. disertai surat pemilikan;
b. disertai bukti pembayaran Retribusi;
c. memiliki surat izin potong
d. dilakukan pemeriksaan ante mortem oleh petugas periksa yang berwenang paling sedikit 12 (dua belas) jam sebelum pernotongan;
e. diistirahatkan paling sedilkit 12 (dua belas) jam sebelum pemotongan;
f. pemotongan dilakukan di RPH yang ditunjuk oleh Bupati;
g. pemotongan dilakukan dibawah pengawasan dan menurut petunjuk
petugas periksa;
h. tidak dalam keadaan bunting
i. tidak dalam keadaan produktif;, dan
j. dilaksanakan sesuai prosedur yang halal.
(4).Setiap Daging Ternak yang berasal dari luar kabupaten yang akan dijual di dalam kabupaten harus berasal dari RPH yang memiliki rantai dingin dan diperiksa terlebih dahulu kesehatannya oleh dokter hewan dan/atau juru periksa yang ditugaskan oleh Bupati.
(5) Setiap Daging Ternak yang berasal dari luar kabupaten harus berasal dari RPH yang memiliki sertifikat Nomor Kontrol Veteriner, Sertifikat Veteriner dari daerah asal, rantai dingin dan diangkut dengan mobil angkutan pendingin serta diperiksa terlebih dahulu kesehatannya oleh
dokter hewan dan/atau junu periksa yang ditugaskan oleh Bupati.
(6).Setiap Bahan Asal Hewan yang masuk ke dalam kabupaten yang berasal dari luar kabupaten wajib periksa terlebih dahulu oleh dokter hewan dan/atau juru periksa yang berwenang
(7) Ternak hanya dapat dipotong di RPH yang telah ditetapkan oleh Bupati,
kecuali ternak yang dipotong untuk kepentingan keagamaan/adat istiadat.
(8) Setiap orang yang memelihara Hewan Penular Rabies (HPR) wajib
membawa hewan peliharaannya untuk dilakukan vaksinasi rabies dan
diperiksa/diperiksakan secara berkala oleh dokter hewan dan/atau
juru periksa yang ditunjuk oleh Bupati.
Pasal 40
(1) Pemotongan Hewan/Ternak dilakukan dalam keadaan darurat apabila:
a. menderita kecelakaan;
b. menderita penyakit yang membahayakan jiwanya; dan/atau
c. membahayakan keselamatan manusia dan/atau barang
(2) Jika ditemukan berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan/paramedik menyatakan hewan menderita penyakit yang dapat menular kepada hewan lainnya,
wajib hewan dikarantina/diobati/dieutanasi sesuai prognosa dokter hewan menurut
ketentuan perundang-undangan.
(3) Pemotongan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
ruang pemotongan darurat yang disediakan RPH.
(4) Dalam hal pemotongan darurat dilakukan di luar RPH maka setelah
pemotongan, harus dibawa ke RPH atau tempat pemotongan hewan untuk penyelesaian pemnotongan dan Pemeriksaan Post Mortem.
(3) Jika hasil pemeriksaan dokter hewan atau juru periksa menyatakan bahwa bahan asal hewan mengandung bibit penyakit/berpotensi menimbulkan penyakit maka bahan asal hewan dimusnahkan sesuai dengan tata cara pemusnahan.
(4) Daging yang dinyatakan baik, diberi tanda stempel dengan menggunakan
zat warna yang tidak membahayakan kesehatan manusia.
(5) Daging yang dinyatakan tidak baik harus dimusnahkan oleh petugas periksa dan biaya pemusnahan ditanggung oleh pemilik ternak.
Pasal 41
(1) Setiap orang dilarang
a. menampung, memelihara hewan/ ternak di daerah yang dinyatakan bebas hewan/ternak oleh Bupati;
b. memotong hewan/ternak atau mengedarkan daging untuk dikonsumsi oleh masyarakat harus melalui pemeriksaan sebelum mendapat
kesehatan hewan/daging ternak atau izin dari pejabat yang ditunjuk oleh Bupati; dan
C. memotong hewan/ternak dalam keadaan bunting dan/atau masih produktif/masih baik untuk bibit.
(2) Petugas Pemeriksa harus menolak hewan/ternak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c untuk dipotong.
(3) Pemotongan produktif/bunting betina
terhadap hewan/ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikecualikan apabila:
a. mengalami luka berat akibat kecelakaan;
b. berbahaya bagi orang atau barang:
c. menderita penyakit berbahaya yang harus dimusnahkan;
d. syarat-syarat lain yang ditetapkan oleh Bupati.
Pasal 42
(1) Hewan/Ternak/Daging yang dipelihara maupun yang akan dipotong untuk dikonsumsi masyarakat, harus memiliki tanda bukti pemeriksaan kesehatan (bukti legalisasi kesehatan) berupa kartu kesehatan hewan sesuai format maupun stempel diatas kulit/daging
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, bentuk, tata cara pemeriksaan dan pemberian bukti hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan PeraturanBupati.
Pasal 43
(1) Setiap Orang dan pemegang izin Usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 30 ayat (2Jdikenakan sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;dan
c.pembekuan dan/atau pencabutan izin usaha untuk jangka waktu tertentu.
(2) Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf C dilakukan jika pemegang izin usaha tidak mengindahkan pembinaan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembekuan dan/atau pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diatur dengan Peraturan Bupati
BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN
Pasal 44
(1) PPNS tertentu di Lingkungan Pemerintah Kabupaten diberi wewenang
khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang Peternakan Hewan sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Peternakan Hewan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lengkap dan
jelas;
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana dibidang Peternakan Hewan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Peternakan Hewan;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana dibidang Peternakan Hewan;
e.melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana dibidang Peternakan Hewan;
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana pada huruf e;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana retribusi daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan;
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Peternakan Hewan menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan penyidik
(3) dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada
penuntut umum melalui penyidik Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana.
BAB VIll
KETENTUAN PIDANA
Pasal 45
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dímaksud dalam
Pasal 12 ayat (4), Pasal 39 ayat (1) sampai dengan ayat (3), ayat (8) dan Pasal 41 ayat (1) huruf a dan huruf b, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (iga) bulan atau pidana denda paling banyak Rp.5.000.000,00 (lima juta rupiah)..
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke kas Negara.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 46
Hewan/Ternak yang tidak memenuhi kesehatan dan membahayakan lainnya,
manusia Hewan/Ternak kesehatan/jiwa
dapat maupun dimusnahkan dengan terlebih dahulu membuat Berita Acara dengan melampirkan keterangan hasil pemeriksaan Dokter Hewan Berwenang atau petugas yang ditunjuk.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah KabupatenMusi Rawas Utara.
Ditetapkan di Muara Rupit
pada tanggal 3 Saptenmier 2019
BUPATI MUSI RAWAS UTARA,
SYARIF HIDAYAT
Diundangkan di Muara Rupit
pada tanggal 23 September 2019
SEKRETARIS DAERAH
ALWI ROHAM
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA TAHUN 2019 NOMOR II
NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN MUSI RAWAS UTARA
PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR (11-118/2019)
Discussion about this post