JAKARTA – Suara Investigasi – (18/11) -Salamuddin Daeng, peneliti AEPI (Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia) menilai bahwa cara penempatan pejabat BUMN saat ini sebetulnya menyimpang dari apa yang selama ini dibangga-banggakan oleh reformasi. Jakarta, Senin (18/11).
Menurutnya, bahwa yakni membangun tata kelola pemerintahan yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Dimana, Reformasi yang katanya mengusung nilai nilai penyelenggaraan negara melalui tata kelola pemerintahan yang demokratis dan inklusive.
“Namun yang terjadi justru sebaliknya, pemerintahan dikelola secara tertutup, rahasia, konspiratif, kesepakatan di ruang gelap,” tukas pengamat ekonomi AEPI itu mengkritisi.
Daeng berpandangan kalau publik semakin tidak memperoleh akses dalam semua kebijakan publik dan pengangkatan pejabat pejabat publik sama sekali tidak meminta pandangan masyarakat.
Penempatan pejabat BUMN adalah contoh betapa pelaksaan Pemerintahan belum mengindahkan soal soal good governance. Meskipun penempatan pejabat di BUMN sekarang ini menggunakan rezim UU Aparatur Sipil Negara (ASN)..
Namun, menurutnya proses nya ternyata tidak menggunakan mekanisme lelang jabatan, sebagaimana spirit UU ASN. Penempatan pejabat BUMN sepenuhnya adalah hak prerogatif presiden dan menteri BUMN
Penempatan pejabat di BUMN oleh pemerintah sekarang tidak hanya sebatas Direktur Utama (Dirut) atau komisaris BUMN, namun juga sampai ke jabatan jabatan tehnis.
Semisalnya direktur atau setingkat kepala devisi pemasaran. Banyak orang orang yang tidak jelas keahliannya masuk menjadi pejabat BUMN.
Selain itu, banyak juga pejabat di BUMN juga rangkap jabatan di pemerintahan atau di tempat lain.
Maka itulah, Ungkapnya patut disayangkan memang, proses ini tidak berlangsung secara inklusive atau terbuka melalui seleksi terbuka.
“Kaum profesional tidak dapat melamar menjadi pejabat dalam BUMN. Demikian juga pejabat karier di BUMN juga tidak dapat ikut karena mekanisme tidak tersedia,” kemukanya.
Sementara, orang luar BUMN menjadikan jabatan BUMN sebagai alat untuk menambah curiculum vitae mereka agar nantinya bisa menjabat di tempat lain. “BUMN menjadi obyek berburu jabatan secara kolusi,” urainya mencermati
Dalam hal ini, Kemuka pakar ekonom muda ini menilai bahwa penunjukan pejabat BUMN dengan cara semacam ini mengakibatkan pemerintah tidak dapat menghasilkan orang orang terbaik dari yang terbaik.”Pejabat BUMN semakin jauh dari profesionalisme, kompetensi dan keahlian seseorang. Namun hanya bermodalkan kedekatan dengan penguasa,” kemukanya.
“BUMN menjadi obyek bagi bagi jabatan. Siapa yang dekat dengan penguasa dia mendapatkan jabatan dalam BUMN. Jabatan BUMN menjadi jatah parpol, tim sukses, atau kelompok pendukung dalam pilpres 2019 lalu,” tukasnya.
Cara penempatan pejabat di BUMN semacam ini semakin rawan menjadikan BUMN sebagai bancakan oligarki yang berkuasa, ujarnya.
“Selain itu telah menciptakan suasana kerja yang tidak nyaman di dalam BUMN sendiri,” paparnya.
Di samping itu, menurut Daeng bahkan orang orang karier di BUMN patah semangat dalam bekerja, karena mereka tidak akan pernah menjadi pejabat di BUMN kecuali mereka menumpuk uang dan menjadi tim sukses Pilpres.”Apa yang konon ditolak orang di era orde baru yakni KKN, sekarang malah berlangsung lebih parah,” pungkasnya.(Sony)
Discussion about this post