Gunungsitoli, suarainvestigasi.com –Kantor Hukum MJH sebagai Kuasa Hukum Pemohon Pra-Peradilan An. Pemohon Destriani Zebua, Alias Ina Lori, DZ sangat menyayangkan ketidak hadiran para Termohon (Kapolda Sumut beserta Jajaran di Polres Nias) dimana Polda Sumut meminta Penundaan dengan mengirimkan Surat Permohonan Penundaan melalui PTSP Pengadilan Gunungsitoli dan Jajaran Polres Nias tanpa keterangan apapun pada hari Jumat tanggal 06 September 2024. “Walau telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan Negeri Gunungsitoli atas adanya Permohonan Pra-Peradilan yang diajukan Kuasa Pemohon dengan Register Perkara Nomor : 05/Pid.Pra/2024/PN GST.
Kantor Hukum MJH kecewa dan sangat sesali sikap para Termohon ini yang tidak menggambarkan sikap Penegak Hukum yang taat akan Hukum dan menghormati hak warga Negara dan Hak Asasi Manusia (HAM). Upaya Hukum Pra-Peradilan ini ditempuh diduga adanya proses Hukum yang tidak fair dan melanggar hak-hak Pemohon sehingga ditetapkan sebagai tersangka secara ugal-ugalan yang diduga tidak berdasarkan Hukum oleh para Termohon,“ Ungkap Kuasa Hukum termohon melalui Press Release Pers kepada awak media, Jumat (06/09/2024).
Akibat tidak hadirnya para Termohon ini, hak-hak Pemohon sebagai warga Negara tersandera dan tidak leluasa memperoleh hak-haknya secara maksimal.
Terutama dari segi aspek sosial Pemohon harus menahan rasa malu ditengah masyarakat dan mengalami sakit kejang-kejang serta tidak sadarkan diri dan harus di opname selama 3 (tiga) hari di rumah sakit RSUD dr. M. Thomsen Nias (sejak ditangkap dan ditahan secara bersamaan tertanggal 06 Agustus 2024) atas penetapan tersangka terhadap dirinya yang telah mengalami trauma.
“Pada sisi yang lain, penetapan tersangka terhadap Pemohon ini berpotensi terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia,(HAM). Sehingga hal tersebut dinilai sangat merugikan dan tidak memberikan rasa keadilan bagi Pemohon pada saat ini. Pemohon masih trauma atas Penetapan Tersangka terhadap dirinya dan masih mengalami kejang-kejang dikarenakan memikirkan permasalahan yang dialaminya, yang dimana dia sendiri membenarkan dengan proses Hukum yang ia jalani dengan patuh dan kooperatif setiap panggilan pemeriksaan yang dilakukan oleh para Termohon bahkan yang tidak pernah sama sekali menganiaya/melempar korban.
Bahwa terhadap penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan kepada Destriani Zebua diduga tidak sesuai dengan Hukum pidana formil yang berlaku.
Hal ini tertuang, sebagaimana dalam Pasal 184 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, harus ada bukti permulaan yang cukup, yaitu paling sedikit dua jenis alat bukti, “Serta dipertegas lagi dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014, yang menjelaskan bahwa “Penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP” yang ditujukkan. Bahwa alat bukti yang ditunjukkan kepada Pemohon Destriani Zebua tidak sedikitpun ada kaitannya dengan laporan terkait dugaan yang dialami pelapor/korban,” Tegas Kuasa Hukum Martinus Jaya Halawa, SH.,MH.,CPM.
Oleh karena hal tersebut, diduga keterangan saksi dan bukti surat Visum et repertum diduga mengada-ngada yang diarahkan kepada Destriani Zebua. Melihat prosedur penanganan perkara yang dilakukan oleh Polres Nias diduga telah melanggar Hak Asasi Manusia Pemohon. Karena menetapkan Pemohon sebagai tersangka diduga secara ugal-ugalan. Padahal Pemohon meyakini tidak pernah sama sekali menganiaya atau ikut bersama-sama melakukan penganiayaan terhadap pelapor serta tidak pernah sama sekali melemparkan helm atau benda apapun kepada korban,” tegas Termohon.
Bahwa Pemohon juga telah mengirimkan surat kepada Kejatisu dan Kajari Gunungsitoli tertanggal 29 Agustus 2024 perihal : Mohon kehati-hatian dan penangguhan penanganan perkara, yang dimana tujuan surat ini meminta agar Kejaksaan Gunungsitoli dalam perkara ini bersifat objektif dan Imparsial sebagai salah satu Penegak Hukum yang dapat menegakkan Supremasi Hukum sesuai aturan yang berlaku dalam menerima berkas Pemohon dari pada para Termohon.
“Bahwa Pemohon juga telah membuat surat permohonan pemantauan dan pengawasan Persidangan kepada Komisi Yudisial tertanggal 02 September 2024, yang dimana intinya meminta Komisi Yudisial dapat hadir melaksanakan pemantauan dan pengawasan terhadap pemeriksaan perkara Pemohon. Bahwa sampai saat ini Pemohon dan Suami Pemohon menyampaikan, sudah ada beberapa yang menghubungi dan meminta ingin bertemu yang dimana Pemohon diminta untuk mencabut Permohonan Praperadilan dan melakukan perdamaian. Namun, menanggapi hal tersebut Suami Pemohon tetap tidak bisa menanggapi terlalu jauh karena keputusan itu harus diputuskan oleh keluarga besar yang iba dan prihatin terhadap yang dialami Pemohon,” Kuasa Hukum.
Berdasarkan perbuatan, Pemohon meminta agar para termohon datang dalam Sidang Permohonan Prapid yang di tunda kurang lebih 10 hari kedepan, yang dilakukan oleh para Termohon kepada Pemohon diduga telah melanggar Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat (2), Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pasal 7, Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia Pasal 5 ayat 1 huruf c dan Pasal 10 Huruf ayat 1 huruf a, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana dalam penetapan Tersangka terhadap Pemohon yang seharusnya obyektif dalam penangan perkara Aquo.
(yosi)
Discussion about this post