Jakarta Pusat – Suara Investigasi – Kamis, 6 Februari 2020. Tim awak media bertemu Anggota MUI Pusat di Kantor MUI Pusat Jakarta H. Imam Addaruqutni dan Guru besar Profesor Dr H Ahmad Sutarmadi Guna mempertanyakan Sudut Pandang Nikah Siri dalam ajaran Islam dan Negara.
MUI menegaskan, “tidak menganjurkan umat Islam menikah siri karena hukumnya tidak berdasar atau tidak ada pengakuan negara. Sebab nikah siri akan rentan terjadi sengketa berkepanjangan.
“MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ucap Imam Addaruqutni di Jakarta, Kamis (6/2/2020), saat diwawancara wartawan di Kantor Pusat MUI Pusat, Jakarta.
Sekretaris General Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia ini juga berujar meskipun nikah sirih disahkan secara agama, namun pernikahan tersebut tetap tidak memiliki kekuatan hukum.
Jika nikah sirih dilakukan, maka akan menyebabkan kerugian bagi istri maupun anak di kemudian hari, karena tidak berdasar hukum.
Pernikahan seperti itu, seringkali menimbulkan dampak negatif bagi istri dan anak yang dilahirkan. Hal-hal yang merugikan di antaranya perihal hak-hak mereka seperti nafkah ataupun hak warisannya.
Jika ingin menuntut pemenuhan hak-hak tersebut, juga seringkali mengalami sengketa, karena tidak adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.
Guna menghindari kemudaratan, MUI sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi di instansi yang berwenang.
Menurut Imam Addaruqutni menambahkan pernikahan di bawah tangan atau nikah sirih dapat disahkan hukumnya apabila memenuhi syarat dan rukun nikah.
Adapun rukun pernikahan dalam Islam antara lain dihadirin pengantin laki-laki atau pengantin perempuan dan wali maupun dua orang saksi laki-laki, mahar sekaligus ijab kabul. Meski begitu, pernikahan tetap bisa dapat dikatakan haram apabila menimbulkan mudarat (dampak negatif).
Sebelumnya, MUI juga telah mengeluarkan fatwa tentang pernikahan sirih sesuai hasil keputusan Ijtima Ulama se-Indonesia ke-2 di Pondok Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur tahun 2006.
MUI sendiri berpandangan tujuan pernikahan itu sangat mulia yaitu mengangkat harkat dan martabat manusia yang tidak sekedar memenuhi kebutuhan nafsu dasar manusia saja atau kebutuhan seks semata. Selain itu, pernikahan juga dipandang sebagai sebuah institusi.
Menurut UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
“Pernikahan merupakan institusi yang sakral, yang harus dijaga dan dipelihara. Tidak boleh direndahkan dan dijadikan sebagai komoditas perdagangan semata. Jika hal tersebut terjadi maka sama halnya merendahkan nilai-nilai kemanusiaan,” papar Imam Addaruqutni.
Saat ditanya Kepala KUA yang menjadi wali nikah siri. Imam menjelaskan itu sudah tidak benar, dan bisa-bisa di pecat. Seharusnya sebagai Kepala KUA sudah paham persis hukum yang dikeluarkan oleh MUI.
“Kalau ada Kepala KUA yang menjadi wali nikah siri, kalau kedapatan pasti dipecat. Itu sudah pelanggaran berat,” tegas Imam Addaruqutni.
Apalagi saat wartawan menanyakan bahwa nikah sirih tersebut dilakukan oleh oknum PNS, Imam Addaruqutni mempertanyakan apakah oknum PNS tersebut masih memiliki suami atau istri.
“Kalau sudah janda, tidak masalah, kalau nikah siri dilakukan dengan ada saksi dan wali kedua belah pihak. Namun, kalau berstatus PNS itu, itu bisa saja jadi masalah dalam pekerjaannya, karena PNS tidak diperbolehkan melakukan nikah siri” tandasnya.
Dan menurut Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
Dalam PP No 45 tahun 1990 sudah ada aturannya untuk menikah sirih atau poligami.
Sesuai Peraturan Pemerintah No.53 tahun 2010 tentang Sangsi Disiplin Anggota Sipil Negara.
(Andre/TIM)
Discussion about this post